TUGAS KE-3 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


Nama : Solihun Wahid
NPM : 36418801
Kelas : 2ID07
BAB VII
Dinamika Historis Konstitusional, Sosial-Politik, Kultural, serta Konteks Kontemporer Penegakan Hukum yang Berkeadilan.

Indonesia adalah negara hukum, artinya negara yang semua penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan serta kemasyarakatannya berdasarkan atas hukum, bukan didasarkan atas kekuasaan belaka. Thomas Hobbes (1588–1679 M) dalam bukunya Leviathan pernah mengatakan “Homo homini lupus”, artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum. Artinya negara yang bukan didasarkan pada kekuasaan belaka melainkan negara yang berdasarkan atas hukum, artinya semua persoalan kemasyarakatan, kewarganegaraan, pemerintahan atau kenegaraan harus didasarkan atas hukum. Dari bunyi alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 ini dapat diidentifikasi
bahwa tujuan Negara Republik Indonesia pun memiliki indikator yang sama
sebagaimana yang dinyatakan Kranenburg, yakni:
1)      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2)      Memajukan kesejahteraan umum
3)      Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4)      Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam teori tujuan negara, pada umumnya, ada empat fungsi negara yang dianut oleh negara-negara di dunia: (1) melaksanakan penertiban dan keamanan; (2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; (3) pertahanan; dan (4) menegakkan keadilan. Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat Jerman (dalam Sudikno Mertokusumo, 1986:130), menyatakan bahwa untuk menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu: (1) Gerechtigheit, atau
unsur keadilan; (2) Zeckmaessigkeit, atau unsur kemanfaatan; dan (3) Sicherheit, atau unsur kepastian.



1)      Keadilan
Keadilan merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum. Artinya bahwa dalam pelaksanaan hukum para aparat penegak hukum harus bersikap adil.
2)      Kemanfaatan
Selain unsur keadilan, para aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus mempertimbangkan agar proses penegakan hukum dan pengambilan keputusan memiliki manfaat bagi masyarakat. Hukum harus bermanfaat bagi manusia.
3)      Kepastian hukum
Unsur ketiga dari penegakan hukum adalah kepastian hukum, artinya penegakan hukum pada hakikatnya adalah perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang. Adanya kepastian hukum memungkinkan seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan.
Negara merupakan organisasi kelompok masyarakat tertinggi karena mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat bahkan memaksa secara sah untuk kepentingan umum yang lebih tinggi demi tegaknya hukum. Negara pun dipandang sebagai subyek hukum yang mempunyai kedaulatan (sovereignity) yang tidak dapat dilampaui oleh negara mana pun. Ada empat fungsi negara yang dianut oleh negara-negara di dunia ialah: melaksanakan penertiban dan keamanan; mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; pertahanan; dan menegakkan keadilan.Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di masyarakat secara adil, maka para aparatur hukum harus menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya. Penegakan hukum bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa memperoleh pengayoman dan hakhaknya
terlindungi. Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945, pembangunan bidang hukum mencakup sektor materi hukum, sektor sarana dan prasarana hukum, serta sektor aparatur penegak hukum. Aparatur hukum yang mempunyai tugas
untuk menegakkan dan melaksanakan hukum antara lain lembaga kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Fungsi utama Lembaga kepolisian adalah sebagai lembaga penyidik; sedangkan kejaksaan berfungsi utama sebagai lembaga penuntut; serta lembaga kehakiman sebagai lembaga pengadilan/pemutus perkara. Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang telah
diperbaharui menjadi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh badan pengadilan dalam empat lingkungan yaitu:
1)      Peradilan Umum,
2)      Peradilan Agama,
3)      Peradilan Militer; dan
4)      Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan umum merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya; sedangkan peradilan militer, peradilan Agama, dan peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkaraperkara tertentu dan mengadili golongan rakyat tertentu. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara tertentu serta meliputi badan peradilan secara bertingkat, yaitu pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi.
Penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi masalah dan tantangan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum sangat penting diupayakan secara terus menerus untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-hak dan kewajibannya.





BAB VIII
Dinamika Historis, Urgensi Wawasan Nusantara sebagai Konsepsi dan Pandangan Kolektif Kebangsaan Indonesia dalam Konteks Pergaulan Dunia

Wawasan Nusantara merupakan wawasan nasional (national outlook) bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat disingkat Wasantara. Wawasan nasional merupakan cara pandang bangsa terhadap diri dan lingkungan tempat hidup bangsa yang bersangkutan. Cara bangsa memandang diri dan lingkungannya tersebut sangat mempengaruhi keberlangsungan dan keberhasilan bangsa itu menuju tujuannya. Konsepsi Wawasan Nusantara, sejak dicetuskan melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957 sampai sekarang mengalami dinamika yang terus tumbuh dalam praktek kehidupan bernegara.
Wawasan Nusantara bisa kita bedakan dalam dua pengertian yakni pengertian etiomologis dan pengertian terminologi. Secara etimologi, kata Wawasan Nusantara berasal dari dua kata wawasan dan nusantara. Wawasan dari kata wawas (bahasa Jawa) yang artinya pandangan.
Sementara kata “nusantara” merupakan gabungan kata nusa yang artinya pulau dan antara. Kata ”nusa” dalam bahasa Sanskerta berarti pulau atau kepulauan. Kata nusantara sendiri secara historis bermula dari bunyi Sumpah Palapa dari Patih Gajah Mada yang diucapkan dalam upacara pengangkatannya sebagai Mahapatih di Kerajaan Majapahit tahun 1336 M, tertulis di dalam Kitab Pararaton. Bunyi sumpah tersebut sebagai berikut;
Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada,
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Artinya:
Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada,
“Jika telah mengalahkan nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika
mengalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Setelah adanya Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, wilayah Indonesia barulah merupakan satu kesatuan, di mana laut tidak lagi merupakan pemisah tetapi sebagai penghubung.
Wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan memiliki keunikan antara lain:
·         Bercirikan negara kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah 17.508 pulau.
·         Luas wilayah 5.192 juta km2 dengan perincian daratan seluas 2.027 juta km2 dan laut seluas 3.166 juta km2. Negara kita terdiri 2/3 lautan / perairan
·         Jarak utara selatan 1.888 km dan jarak timur barat 5.110 km
·         Terletak diantara dua benua dan dua samudra (posisi silang)
·         Terletak pada garis katulistiwa
·         Berada pada iklim tropis dengan dua musim
·         Menjadi pertemuan dua jalur pegunungan yaitu Mediterania dan Sirkum Pasifik
·         Berada pada 60 LU- 110 LS dan 950 BT – 1410 BT
·         Wilayah yang subur dan habittable (dapat dihuni)
·         Kaya akan flora, fauna, dan sumberdaya alam

Wawasan nusantara bermula dari wawasan kewilayahan dengan dicetuskannya Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957. Inti dari deklarasi itu adalah segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Indonesia. Dengan demikian, bagian dari perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak milik Negara Indonesia. Keluarnya Deklarasi Djuanda 1957 membuat wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah. Laut bukan lagi pemisah pulau, tetapi laut sebagai penghubung pulau-pulau Indonesia. Melalui perjuangan diforum internasional, Indonesia akhirnya diterima sebagai negara kepulauan (Archipelago state) berdasarkan hasil keputusan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
Pertambahan luas wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan memberikan potensi keunggulan (positif) yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun demikian juga mengundang potensi negatif yang bisa mengancam keutuhan bangsa
dan wilayah. Wawasan nusantara sebagai konsepsi kewilayahan selanjutnya dikembangkan sebagai konsepsi politik kenegaraan sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungan tempat tinggalnya sebagai satu kesatuan wilayah dan persatuan bangsa. Esensi dari wawasan nusantara adalah kesatuan atau keutuhan wilayah dan persatuan bangsa, mencakup di dalamnya pandangan akan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Wawasan nusantara merupakan perwujudan dari sila III Pancasila yakni Persatuan Indonesia.
Rumusan wawasan nusantara termuat pada naskah GBHN 1973 sampai 1998 dan dalam Pasal 25 A UUD NRI 1945. Menurut pasal 25 A UUD NRI 1945, Indonesia dijelaskan dari apek kewilayahannya, merupakan sebuah negara kepulauan (Archipelago State) yang berciri nusantara. Berdasar Pasal 25 A UUD NRI 1945 ini pula, bangsa Indonesia menunjukkan komitmennya untuk mengakui pentingnya wilayah sebagai salah satu unsur negara sekaligus ruang hidup (lebensraum) bagi bangsa Indonesia yang telah menegara. Ketentuan ini juga
mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI di tengah potensi perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatisme, sengketa perbatasan antar negara, dan pendudukan oleh negara asing.



Analisa dari Berita Tentang Dinamika Historis Konstitusional, Sosial-Politik, Kultural, serta Konteks Kontemporer Penegakan Hukum yang Berkeadilan yang Berjudul Orang Tidak Mampu juga Berhak atas Penegakan Hukum yang Berkeadilan
           
Pada jaman diera modern seperti saat ini, dimana orang kaya atau yang memiliki kekuasaan kebal akan suatu sanksi hukum negara sedangkan untuk orang yang tidak mampu akan lemah terhadap suatu perlindungan haknya dan bahkan sanksi yang diterima akan semakin berat dan lama. Anggota Komisi III DPR RI Mulyadi menegaskan agar Jaksa Agung RI ST Burhanuddin menegakkan keadilan untuk semua lapisan masyarakat. Dia mengatakan, jangan sampai penegakan hukum tidak berpihak bagi orang-orang yang tidak mampu secara finansial. Banyak hal yang terjadi saat orang yang memiliki kekuasaan atau berlebih dalam finansial melakukan suatu kesalahan seperti korupsi dan terjerat narkoba tapi kebal akan hukum karena mereka bisa membayar pihak pengadilan untuk meringakan sanksi yang diterima atau bahkan dibebaskan dari hukuman yang ada, sedangkan bagaimana orang yang tidak mampu membuat kesalahan yang kecil seperti mencuri singkong untuk memenuhi kebutuhan makan mereka yang tidak mereka sengaja tapi mendapatkan sanksi yang cukup berat karena mereka tidak memiliki kuasa apapun untuk membela dan pihak memandangnya hanya orang kecil yang bersalah dan tidak memiliki apa-apa.
            "Keadilan harus didapat masyarakat yang tidak mampu Pak. Jadi keadilan bukan hanya pada orang-orang yang berduit, ini harus digarisbawahi. Saya, pada kasus kecil memberikan komplain, kasus yang terjadi pada orang tidak mampu tidak diurus. Jadi saya ke depan meminta penegakan hukum yang berkeadilan menjadi haknya orang-orang yang tidak mampu, ini penekanan khusus dari saya," papar Mulyadi di Ruang Rapat Komisi III. Menurut Politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini, Jaksa Agung yang baru seharusnya punya harapan baru. Dia berpendapat saat ini penegakan hukum masih bersifat normatif dan retorika, maka dari itu tantangan kedepan untuk Jaksa Agung sangat berat. "Yang perlu Bapak pastikan adalah niat Bapak untuk melakukan perbaikan yang baik dan mempertahankan sesuatu yang sudah baik. Bapak harus melakukan inventarisasi, ini saran saya sebagai mitra kerja Jaksa Agung. Kita saling membantu dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan," jelas Mulyadi. Dia juga mengungkapkan, sejauh ini masih terjadi degradasi jaksa-jaksa di kabupaten kota maupun di provinsi. Degradasi yang dia maksud adalah, Kepala Kejaksaan Negeri yang miskoordinasi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi, meskipun tidak semua tapi persoalan ini, menurutnya harus dievaluasi. "Bahwa kadang-kadang, ada Kajari yang merasa tidak di bawah koordinasi Kajati, ini jangan sampai terjadi lagi. Kami tidak ingin ada Kajari yang merasa punya backup tertentu, diingatkan oleh Kajati, sepertinya merasa tidak peduli. Secara organisasi ini tidak baik dan yang seperti ini perlu dilakukan evaluasi," ungkap Mulyadi.
            Diharapkan setelah dilakukannya evaluasi tersebut yang dilakukan oleh pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi dapat menumbuhkan sikap adil terhadap seluruh masyarakat yang bersalah maupun yang tidak bersalah, jangan pernah pandang seseorang yang bersalah dari kekuasaannya. Jika setiap pengadilan yang dimana kekuasaan kebal akan hukum maka para penguasa negara akan sewenangnya melakukan korupsi yang dapat merugikan negara maupun warga negara yang terdapat didalamnya. Jadi dimohon untuk tumbuhkan sikap adil sejak dini kepada generasi muda agar kedepannya para pengadilan dapat adil terhadap seluruh masyarakat.



Analisa dari Berita Tentang Dinamika Historis, Urgensi Wawasan Nusantara sebagai Konsepsi dan Pandangan Kolektif Kebangsaan Indonesia dalam Konteks Pergaulan Dunia yang Berjudul Pergaulan Indonesia Bikin Bengkak Belanja Negara

Sesuai konstitusi, Indonesia dibolehkan untuk “bebas-aktif” di percaturan global. Tetapi, alih-alih aktif terlibat mewujudkan ketertiban dunia, sebagian persekutuan itu bebas menyalahi aturan dan membebani anggaran negara. dalam sebuah rapat bersama sejumlah menteri, kepala badan negara, dan anggota staf kepresidenan, Presiden Joko Widodo berkata, “Sesuai dengan amanah dalam pembukaan konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia, kini Indonesia telah menjadi anggota 233 organisasi internasional.” Tetapi Pak Presiden mengerti: jumlah sebesar itu tak berarti apa-apa selain bahwa Indonesia gemar bergaul. Ia tidak berbanding lurus dengan sumbangan kita untuk dunia dan belum tentu menempatkan Indonesia di kursi yang lebih tinggi dan empuk dalam perundingan dengan negara-negara lain. Maka, Presiden mengajak para peserta rapat meninjau ulang keikutsertaan tersebut, memeriksa sejauh mana persekutuan-persekutuan itu “memberi manfaat yang nyata bagi kepentingan nasional.”. “Jangan sampai kita ikut hanya untuk formalitas, hanya karena kita terdaftar, tetapi sesungguhnya tidak aktif,” ujarnya.
Soal lainnya adalah biaya. Pemerintah mesti mengongkosi perjalanan dinas utusan-utusan negara, yang tentu tak murah, serta membayar iuran berkala. Sebagai anggota Partners in Population and Development, badan kerja sama negara-negara Selatan yang berkantor di Dhaka, Bangladesh, misalnya, saban tahun Indonesia mesti membayar iuran $20 ribu. Pada 2015, kita membayar lebih dari $1,9 juta kepada Southeast Asian Fisheries Development Center. Dan yang terbaru, sumbangan Indonesia untuk anggaran PBB tahun ini mencapai $12,4 juta. Usai rapat, Sekretaris Negara Pramono Anung mengatakan kepada Antara bahwa Indonesia akan tetap mengikuti 158 organisasi, sebab keanggotaan di dalamnya “bersifat strategis dan permanen” atau “teknis”, sedangkan keanggotaan dalam 75 organisasi lain akan dinilai ulang oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, serta beberapa lembaga lain. Selain perkara manfaat dan ketersediaan dana, tujuan setiap organisasi juga akan diperiksa kembali. Itu memang urusan yang mendesak. Dalam dokumen “Keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional” yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri, ada sejumlah organisasi yang tujuannya terkesan tumpang-tindih.
Keputusan Presiden (Keppres) No. 64 tahun 1999 menyatakan bahwa “Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional harus ditetapkan sekurang-kurangnya dengan Keputusan Presiden” (pasal 2 ayat 1) dan “Kontribusi pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui anggaran Departemen Luar Negeri” kecuali keanggotaan pada “organisasi internasional yang bermanfaat dan menguntungkan badan usaha milik negara dan/atau asosiasi unit usaha swasta” (pasal 5 ayat 1 dan pasal 6). Kenyataannya, menurut data Kementerian Luar Negeri, dasar hukum keterlibatan Indonesia dalam sejumlah organisasi internasional tak dapat diperiksa. Penyebabnya, mereka tidak ada dalam catatan perundangan Sekretariat Kabinet, dan pembayaran kontribusi untuk beberapa organisasi ini tercatat menyalahi Keppres tersebut karena dilakukan oleh badan-badan selain Kementerian Luar Negeri. Ketidakjelasan dasar hukum dan kekacauan dalam pembayaran iuran itu memang terlampau jauh buat dibaca sebagai tengara penyalahgunaan kuasa, korupsi, dan kejahatan lain-lain yang mungkin dilakukan para amtenar. Namun, jika negara diibaratkan sebagai rumah, perkara keterlibatan Indonesia dalam organisasi-organisasi internasional adalah kamar yang berantakan, dengan kaus kaki yang terselip di dalam sarung bantal, mainan di kolong tempat tidur, cawat di kusen jendela, seprai di atas lemari, dan seterusnya. Misalkan suatu ketika ada tikus mati di kamar itu, pengurus rumah tentu akan repot mencarinya.
Pasal 7 ayat 3 Keppres No. 64 tahun 1999 sebetulnya sudah memberikan petunjuk tentang “beres-beres kamar” itu: peninjauan kembali keanggotaan Indonesia dalam organisasi-organisasi internasional harus dikerjakan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Peninjauan kembali keanggotaan Indonesia dalam suatu organisasi internasial guna merapikan struktur dan bisa mempermudah pengaturan dalam suatu organisasi tersebut.

https://tirto.id/pergaulan-indonesia-bikin-bengkak-belanja-negara-cc6E

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS KE-1 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN